Manusia, Ilmu, dan Kesombongan: Ketika Pengetahuan Menjadi Jerat

 


Manusia adalah makhluk pencari ilmu. Sejak ribuan tahun lalu, kita mengukir sejarah dengan menaklukkan rahasia alam, merumuskan hukum-hukum fisika, menyibak tabir genetika, hingga menciptakan teknologi yang mengubah peradaban. Ilmu pengetahuan adalah mercusuar yang menerangi kegelapan, alat untuk memahami diri dan semesta. Namun, di balik cahaya ilmu, ada bayangan kelam yang mengintai: kesombongan.  


Kesombongan adalah penyakit yang lahir ketika manusia lupa bahwa ilmu bukanlah milik mutlaknya, melainkan anugerah yang harus disikapi dengan rendah hati. Sejarah membuktikan, setiap kali manusia merasa "telah mengetahui segalanya," bencana kerap mengintai. Mitos Yunani mengisahkan Icarus yang terbang terlalu dekat dengan matahari karena kesombongannya. Di era modern, manusia abad ke-20 yang percaya bahwa sains bisa menguasai alam justru menghadapi krisis ekologi, perang nuklir, dan kerusakan moral. Ilmu tanpa kesadaran akan keterbatasan manusia adalah bom waktu.  


Akar kesombongan intelektual terletak pada ilusi bahwa pengetahuan adalah alat untuk mendominasi, bukan melayani. Lihatlah bagaimana kapitalisme mengubah temuan sains menjadi mesin eksploitasi, atau bagaimana elit politik memelintir data untuk mempertahankan kekuasaan. Bahkan dalam lingkup personal, banyak orang menggunakan gelar akademis atau wawasan sebagai tameng untuk merendahkan orang lain. Mereka lupa bahwa semakin dalam seseorang menyelami ilmu, semakin ia menyadari betapa luasnya lautan ketidaktahuan.  


Namun, ilmu sejatinya mengajarkan kerendahan hati. Socrates, bapak filsafat Barat, mengingatkan: "Satu-satunya yang saya tahu adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa." Para ilmuwan besar seperti Isaac Newton atau Albert Einstein justru mengakui bahwa penemuan mereka hanyalah setitik debu dalam semesta pengetahuan. Dalam tradisi Islam, Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia hanya diberi ilmu "sedikit sekali" (QS. Al-Isra: 85). Ini adalah peringatan agar kita tidak terjebak dalam keangkuhan.  


Lantas, bagaimana membebaskan diri dari jerat kesombongan? Pertama, kita perlu mengembalikan ilmu pada hakikatnya: sebagai sarana untuk mengabdi pada kemanusiaan dan keadilan, bukan alat pamer atau penindas. Kedua, pendidikan harus menekankan etika dan empati, bukan sekadar transfer informasi. Seorang insinyur tidak hanya diajarkan membangun jembatan, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat dan lingkungan. Ketiga, kita perlu mengakui bahwa ilmu bersifat multidisiplin dan tak terpisahkan dari nilai-nilai spiritual. Kemajuan teknologi tanpa kebijaksanaan ibarat pedang di tangan anak kecil—berbahaya.  


Pada akhirnya, manusia dan ilmu adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Namun, ketika ilmu disandra oleh kesombongan, ia berubah menjadi racun. Tantangan terbesar peradaban saat ini bukanlah bagaimana menemukan lebih banyak pengetahuan, melainkan bagaimana merawatnya dengan kerendahan hati. Sebab, seperti kata filsuf Tiongkok Lao Tzu: "Ia yang mengetahui tidak berbicara, ia yang berbicara tidak mengetahui." Mungkin di situlah letak kebijaksanaan sejati: tetap belajar, tetapi tak pernah lupa untuk merunduk.  

---  

Tulisan ini mengajak pembaca merefleksikan hubungan antara pencapaian intelektual dan sikap hidup. Ilmu adalah berkah, tetapi hanya akan bermakna jika dibarengi dengan kesadaran akan keterbatasan dan tanggung jawab moral.

Posting Komentar

0 Komentar