Kesibukan adalah Candu Materialisme

 

Kesibukan adalah candu materialisme. Ia membuat kita merasa penting karena kalender penuh, membuat kita yakin bernilai karena selalu “produktif”. Padahal sering kali, yang dikejar bukan makna, melainkan validasi: angka penjualan, jumlah proyek, notifikasi yang tak putus. Kita belajar menilai diri dari output yang terlihat, bukan dari hidup yang sungguh dijalani.

Seperti candu, kesibukan bekerja lewat dopamin: setiap tugas yang selesai memberi sensasi “berhasil”, mendorong kita mengejar lebih banyak daftar centang. Lama-kelamaan, standar naik, target ditambah, dan tubuh pun dipaksa menyesuaikan. Angka GMV, view, like, omzet menjadi altar baru yang menuntut persembahan harian. Kita mabuk oleh capaian sampai lupa bertanya: untuk apa semua ini?

Budaya “hustle” memberi bingkai moral: sibuk dianggap mulia, waktu luang dicurigai malas. Media sosial menambah bumbu, kita memamerkan kerja keras dan mengonsumsi kerja orang lain, lalu takut tertinggal. Perusahaan memuji “fleksibilitas”, yang sering berarti ketersediaan tanpa batas. Ekonomi kreator dan platform memperluas jam kerja menjadi 24/7 dengan dalih peluang.

Kesibukan juga berfungsi sebagai selimut hangat yang menutupi kekosongan makna. Selama sibuk, kita tak perlu menatap cermin dan mengakui kebingungan, luka, atau kebutuhan akan kedekatan. Kita menghindari pertanyaan sulit, apa prioritas, apa panggilan, apa batas. Dengan menambah lagi to-do list. Suara bising tugas menenggelamkan sinyal hati yang paling jujur.

Biayanya tak kecil: kesehatan yang terkikis, relasi yang renggang, kreativitas yang tumpul. Energi emosional habis untuk “mengejar”, bukan “menghadir”. Kita menjadi kaya akan perangkat, miskin perhatian; kaya koneksi, miskin keterhubungan. Pada akhirnya, tubuh menagih utang yang kita ambil dari masa depan.

Materialisme hari ini bukan hanya soal barang mewah, tetapi juga alat “efisiensi” yang melegitimasi kerja tanpa henti. Setiap aplikasi baru menjanjikan waktu luang, namun memunculkan ekspektasi baru untuk mengisi waktu itu dengan lebih banyak kerja. Jam kerja melebar, batas rumah–kantor memudar, dan gawai menjadi tali yang mengikat kita pada ritme pasar. Kita menukar kebebasan dengan kenyamanan, lalu menyebutnya kemajuan.

Detoksnya dimulai dari mendefinisikan “cukup”. Cukup penghasilan, cukup proyek, cukup eksposur agar kita bisa mengatakan “tidak” dengan tenang. Tetapkan batas: jam hening harian tanpa gawai, blok fokus yang berakhir tepat waktu, dan hari istirahat yang benar-benar bebas. Kurangi komitmen yang tak selaras dengan nilai; jadwalkan yang penting sebelum yang mendesak.

Pulihkan makna kerja: bukan sekadar mesin penghasil angka, melainkan praktik merawat nilai pelayanan, mutu, kejujuran, kebersamaan. Latih irama sehat: kerja yang dalam, istirahat yang total, hadir yang penuh saat bersama orang lain. Ukur sukses dengan dampak dan integritas, bukan hanya pertumbuhan linear. Belajar menunda “ya” dan mengafirmasi prioritas yang benar.

Posting Komentar

0 Komentar