Surah Al-Fajr (89) merupakan seruan kontemplatif yang menggali hakikat eksistensi manusia melalui dialog antara waktu, sejarah, dan spiritualitas. Surah ini dibuka dengan sumpah Ilahi pada fenomena alam—fajar, sepuluh malam, yang genap dan ganjil, serta malam yang berlalu—yang tidak hanya menjadi simbol kebesaran Allah, tetapi juga cermin untuk memahami dinamika kehidupan manusia. Fajar (Al-Fajr) merepresentasikan transisi dari kegelapan menuju terang, sebuah metafora universal tentang kebangkitan kesadaran spiritual setelah manusia terlena dalam "kegelapan" kebodohan, keserakahan, atau kealpaan. Dalam filsafat Islam, fajar sering dikaitkan dengan pencerahan akal dan hati (isyraq), di mana cahaya Ilahi menerangi jalan kebenaran. Sementara itu, sepuluh malam (seperti malam-malam Dzulhijjah) menegaskan pentingnya waktu sebagai ruang introspeksi dan transformasi. Sepuluh malam ini bukan sekadar angka, tetapi simbol proses penyempurnaan diri melalui ibadah, pengorbanan, dan perenungan—sebuah konsep yang selaras dengan filosofi tasawuf tentang "perjalanan menuju Allah" (suluk). Adapun genap dan ganjil mencerminkan dualitas dan harmoni kosmis: siang-malam, hidup-mati, materi-ruh, yang mengajarkan bahwa kehidupan manusia harus seimbang antara tuntutan duniawi dan spiritual. Simbol-simbol ini mengingatkan manusia bahwa alam semesta adalah "kitab terbuka" yang mengajarkan kebijaksanaan, selama manusia mau membaca tanda-tanda (ayat) tersebut.
Kisah kehancuran kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun yang disebut dalam surah ini tidak hanya sekadar narasi sejarah, tetapi kritik filosofis terhadap kesombongan antroposentris—keyakinan bahwa manusia bisa menguasai alam dan sesamanya tanpa batas moral. Kaum ‘Ad yang membanggakan kekuatan fisik, Tsamud dengan kemahiran arsitektur, dan Fir’aun dengan kekuasaan absolut, semuanya binasa karena mengabaikan prinsip keadilan dan ketundukan pada hukum Ilahi. Kehancuran mereka menjadi alegori tentang bahaya reduksionisme materialistik, di mana kemajuan peradaban diukur hanya melalui kekayaan, teknologi, atau kekuasaan, tanpa diimbangi kebijaksanaan etis-spiritual. Dalam perspektif filsafat sejarah Ibn Khaldun, kejatuhan mereka mencerminkan siklus "kemunculan dan keruntuhan peradaban" (asabiyyah) yang terjadi ketika elit penguasa terjebak dalam kezaliman (zulm) dan keangkuhan (istikbar). Surah ini menggarisbawahi bahwa keadilan Ilahi bersifat mutlak: tidak ada kekuatan manusiawi yang bisa mengelak dari hukum sebab-akibat moral. Ini selaras dengan konsep ma’ad (kembali kepada Allah) dalam filsafat Islam, yang menegaskan bahwa setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi transenden.
Surah Al-Fajr juga mengkritik manusia yang terjebak dalam paradoks materialisme. Ayat "Dan adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: 'Tuhanku telah memuliakanku.' Tetapi apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata: 'Tuhanku menghinakanku'" (QS. Al-Fajr: 15-16) menyoroti kegagalan manusia dalam memahami hakikat ujian hidup. Kekayaan dan kemiskinan, dalam perspektif surah ini, hanyalah instrumen ujian—bukan ukuran kemuliaan atau kehinaan. Filosofi ini mengingatkan pada ajaran Stoikisme Yunani tentang "ketenangan jiwa" (apatheia) yang menekankan kebebasan batin dari ketergantungan pada hal eksternal. Namun, dalam Islam, konsep ini diperdalam dengan dimensi ketauhidan: kebahagiaan sejati lahir dari kepasrahan (tawakkal) dan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah milik Allah. Materialisme, menurut surah ini, adalah bentuk "penjara mental" yang membuat manusia lupa pada tujuan penciptaan—untuk beribadah dan memakmurkan bumi dengan keadilan.
Puncak refleksi filosofis surah ini terletak pada gambaran Hari Kiamat dan konsep an-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang). Ketika bumi diguncang dan segala sesuatu dihancurkan, manusia dihadapkan pada realitas ultim: bahwa hidup bukanlah sekadar permainan duniawi, melainkan persiapan untuk pertemuan dengan Sang Pencipta. Kematian dan kebangkitan bukan akhir, melainkan pintu menuju hakikat sejati eksistensi. Jiwa yang tenang (QS. Al-Fajr: 27-30) adalah jiwa yang telah mencapai maqam spiritual tertinggi—sebuah kondisi psikologis-spiritual di mana manusia merasakan kedamaian abadi karena telah menyelaraskan kehendak, pikiran, dan tindakannya dengan kehendak Ilahi. Konsep ini paralel dengan ide "eudaimonia" dalam filsafat Aristoteles, yang mendefinisikan kebahagiaan sebagai keselarasan dengan tujuan tertinggi (telos) manusia. Namun, dalam Islam, tujuan tertinggi tersebut adalah ridha Allah, bukan sekadar kesempurnaan rasional atau moral.
Secara keseluruhan, Surah Al-Fajr adalah manifesto filosofis tentang humanisme transenden. Ia mengajak manusia untuk keluar dari kepicikan materialisme menuju kesadaran holistik yang memadukan akal, hati, dan amal. Melalui simbol-simbol waktu, sejarah, dan akhirat, surah ini menawarkan jalan pembebasan: kebangkitan spiritual (fajar), refleksi kritis atas sejarah, pembebasan dari belenggu materi, dan penyatuan dengan Kebenaran Mutlak. Pesannya tetap relevan di era modern: peradaban hanya akan lestari jika dibangun di atas fondasi keadilan, kerendahan hati, dan pengakuan akan transendensi nilai-nilai Ilahi.
0 Komentar